Aliansi Masyarakat Sipil Yogyakarta menolak rencana investasi kehutanan (forest investment plan) berbasis utang sebesar USD 70 juta. Apalagi dalam rencana itu keterlibatan tentara sangat kental. Investasi ini juga dianggap tidak menguntungkan masyarakat dan hanya menjadi kepentingan industri dan perbankan dunia.
“Indonesia sudah banyak utang, akan ditambah lagi utang yang tidak menguntungkan rakyat. Mereka yang diuntungkan, rakyat yang menanggung utang,” kata Hamzal Wahyudin, Kepala Departemen Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Senin, 23 September 2013.Aliansi Masyarakat Sipil juga menolak adanya pertemuan Forest Investment Plan yang diadakan di Hotel Inna Garuda, Yogyakarta, pada 24-26 September 2013. Penolakan mereka berdasarkan pada investasi dengan dana utang, ketidakadilan investasi yang berdampak pada masyarakat, terutama yang dekat dengan lahan hutan, dan tidak dilibatkannya masyarakat pada investasi ini. “Kami akan melakukan aksi penolakan di Parkir Abu Bakar Ali yang berdekatan dengan hotel tempat pertemuan Forest Investment Plan,” kata dia.
Pertemuan itu akan diikuti perwakilan dari lebih 50 negara, yakni dari Asia dan Amerika Latin. Negara yang akan datang antara lain Indonesia, Laos, Philipina, Papua Nugini, Maladewa, dan India.
Forest Investment Plan merupakan skema global dan bagian dari Climate Investment Fund yang bertujuan untuk mengurangi hambatan pelaksanaan REDD+ (reduce emmision, deforestation, and degradation) di daerah serta meningkatkan REDD+ dan pengelolaan hutan lestari di tingkat lokal dan provinsi.
Menurut Puspa Dewi dari Jaringan Perempuan Indonesia, keterlibatan perempuan jelas sangat minim dalam program ini. Keterlibatan tentara dalam program ini sudah menjurus kepada tindakaan kriminalisasi bahkan berujung pada penembakan di lahan-lahan yang dianggap bermasalah.
Padahal, lahan-lahan hutan yang dikelola masyarakat itu diicaplok untuk kepentingan pemodal yang memanfaatkan pihak tentara untuk mengamankan lahan. Padahal bukan tempat tentara untuk mengamankan hutan. “Ini bukan wilayah tentara,” kata dia.
Forest Investment Plan, kata Dewi, tidak dirancang untuk menyelesaikan konflik tenurial (lahan) yang selama ini terjadi di kawasan hutan. Aspek perlindungan terhadap hutan dan masyarakat yang menggantungkan hidup kepada hutan diabaikan. Justru investasi ini dikuasai oleh pihak swasta dan melakukan intervensi sektor kehutanan.
Ia menambahkan, Forest Investment Plan ini hanya menguntungkan pihak swasta. Ccontohnya, dalan investasi itu dimasukkan 750 ribu hektar hutan yang sebagian besar merupakan bisnis HPH, HTI, termasuk perkebunan kelapa sawit. “Investasi ini justru memperkuat perampasan dan meminggirkan hak masyarakat, masyarakat adat dan perempuan dalam pengelolaan sumber daya hutan,” kata dia.
Di Gunung Kidul, contohnya, masyarakat di sekitar hutan tidak banyak dilibatkan. LSM yang bergerak di bidang kehutanan dan lingkungan saja sulit mendapatkan informasi. “Apalagi masyarakat biasa yang tidak dianggap apa-apa oleh pemerintah,” katanya.
——–
Sumber: tempo.co. Selasa, 24/09/2013
link: tempo.co