Bogor, 11 November 2011. Penelusuran Telapak mengungkap adanya aliran dana dari Norwegia kepada PT Munte Waniq Jaya Perkasa, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menggusur paksa kawasan adat Muara Tae, Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Telapak mendesak pemerintah Norwegia mencabut investasinya di Tian Siang Holding (TSH), pemilik dari PT Munte Waniq Jaya Perkasa.
PT Munte Waniq Jaya Perkasa akhir-akhir ini cukup mendapat sorotan. Pasalnya dua minggu lalu, perusahaan ini telah menggusur paksa kawasan hutan masyarakat adat Dayak Benuaq di Muara Tae. Perusahaan ini melakukan aktivitas dilapangan tanpa menghiraukan masalah kepemilikan yang terjadi diantara sesama Dayak Benuaq yang berada di Kampung Muara Tae dan Kampung Muara Ponaq. Meski saat ini perusahaan tersebut belum kembali melakukan aktivitasnya, nasib warga Muara Tae masih terombang-ambing karena lahan dan hutan mereka masih terancam.
PT Munte Waniq Jaya Perkasa memulai kegiatan bisnisnya sejak tahun 2008. Perusahaan ini mendapatkan lokasi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kutai Barat – Kalimantan timur dengan luas mencapai 11.500 hektar. Lahan konsesi mereka terletak di Kecamatan Siluq Ngurai, Kampung Ponaq, Rikong, Kiyaq dan Kenyanyan.
Setelah ditelusuri, 90% saham PT Munte Waniq Jaya Perkasa dikuasai oleh grup perusahaan Tian Siang Holding (TSH) yang berasal dari Malaysia. Perusahaan tersebut telah memiliki lahan konsesi kelapa sawit mencapai 87.000 hektar yang berada di Indonesia dan Sabah. Dana pensiun atau Government Pension Fund Global Norwegia telah berinvestasi pada TSH. Itu artinya, Norwegia negara yang disebut sebagai pencetus REDD+ di Indonesia ikut mendanai salah satu perusahaan yang menggusur kawasan masyarakat adat.
Abu Meridian, Juru Kampanye Hutan Telapak mengatakan, “PT Munte Waniq Jaya Perkasa telah menggusur kawasan adat Muara Tae tanpa menghiraukan permasalahan tata batas. Ternyata, Norwegia-negara dengan reputasi yang baik dalam bidang perubahan iklim-ikut mendanai kegiatan mereka. Pemerintah Norwegia telah menginvestasikan uangnya kepada perusahaan yang telah merugikan warga Muara Tae.”
Sebelumnya Telapak bersama EIA telah mengeluarkan laporan berjudul “Menjambret REDD” pada Juni lalu. Laporan tersebut juga mengungkap adanya aliran dana dari Norwegia kepada empat grup perusahaan yang mengoperasikan 24 anak perusahaan perkebunan tanpa izin yang sesuai di provinsi percontohan REDD+, yaitu Kalimantan Tengah. Hal ini mengancam kesuksesan program REDD+ dan menunjukkan adanya kekacauan regulasi di sektor kehutanan Indonesia.
“Pemerintah Indonesia memiliki komitmen dalam penyelesaian tata batas untuk mendukung pelaksanaan REDD+ Indonesia namun ini belum berjalan sepenuhnya di Indonesia untuk permasalahan antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dan masyarakat. Pemerintah Norwegia harus segera mencabut investasinya di TSH grup sebagai pemilik dari PT Munte Waniq Jaya Perkasa” tambah Abu Meridian.
Kontak:
Abu Meridian – Juru Kampanye Hutan
Abu.meridian@telapak.org atau 0857-157-66732
Sheila Kartika – Kontak Media, Permintaan Data, Foto dan Peta
Sheila@telapak.org atau 0856-887-1996
CATATAN EDITOR:
- Sejak tahun 1971, sumber daya alam di Jempang telah dieksploitasi oleh PT Sumber Mas dari tahun 1971-1975, 1983-1985, dan 1991-1992. Pada tahun 1995, masuk PT London Sumatra yang beroperasi hingga saat ini. Pada tahun 1996/1997 PT Gunung Bayan Pratama Coal memulai eksplorasi dan eksploitasi juga beroperasi hingga saat ini. Pada tahun 2010, PT Borneo Surya Mining Jaya masuk dan sampai saat ini masih beroperasi di Jempang.
- Pada bulan Juni 2011, Telapak dan EIA telah mengeluarkan laporan berjudul “Menjambret REDD”.