Perusahaan Tambang Gusur Tanah Rakyat dan Ingkari Janji
Setelah memberikan pelatihan di Dua Provinsi Kalimantan Barat dan di Provinsi Riau, Telapak bersama C4J kembali melakukan Pelatihan Paralegal di Provinsi Nanggro Aceh Darussalam.
Dalam pelatihan tersebut peserta yang hadir sangat antusias mendengarkan paparan materi yang disampaikan oleh Presiden Telapak Khusnul Zaini. Dalam paparannya menyatakan bahwa Paralegal ini sangat penting dan berguna bagi masyarakat untuk memahami hukum dan kejahatan lingkungan, sehingga memberikan kesadaran dan keyakinan mereka dalam upaya menekan terjadinya degradasi hutan atau konversi lahan dan pembalakan liar.
Acara yang diselenggarakan pada tanggal 21-23 April 2014 tersebut melibatkan 30 orang peserta, terdiri dari perwakilan masyarakat desa Suak Panjang, Paya Laba, Pasie Lembang, Durien Kawan di kecamatan Kluet Selatan dan desa Pucuk Lembang, serta masyarakat desa Lawe Sawah di Kecamatan Kluet Timur, Kabupaten Aceh Selatan Provinsi Nanggro Aceh Darussalam.
Dalam pelatihan tersebut, para peserta memaparkan permasalahan yang sedang terjadi di desa mereka yang akan menjadi ancaman serius jika mereka tidak segera melakukan tindakan. Permasalahan yang mereka paparkan adalah masuknya perusahaan pertambangan yang akan menggusur tanah masyarakat dan berbagai janji yang diberikan tidak pernah ditepati oleh perusahaan.
Permasalahan tersebut terjadi sejak tahun 2011 hingga tahun 2014 dan belum mendapatkan titik terang kapan akan berakhir. Hingga pada tanggal 04 April 2014 masyarakat Sinpang Dua kedatangan tamu dari perusahaan dengan tujuan untuk mengadakan eksplorasi dan ekspedisi terhadap beberapa wilayah yang ada di desa tersebut. Setelah perusahaan melakukan kegiatan, mereka menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan eksplorasi dan dan ekpedisi, yang pada dasarnya kawasan tersebut adalah merupakan tanah milik masyarakat. setelah mengimingi masyarakat dengan koperasi tambang, mereka juga membuat perjanjian dengan masyarakat dan telah disepakati.
Namun kesepakatan tersebut, ternyata tidak ditepati oleh perusahaaan. Salah satunya adalah perusahaan menolak melakukan perbaikan jalan yang rusak akibat setiap harinya dilalui oleh mobil-mobil pengangkut hasil tambang di wilayah pemukiman masyarakat.
Hingga ditahun 2014 perusahaan tersebut masih mengabaikan tuntutan masyarakat, bahkan masyarakat sempat melakukan aksi demonstrasi dan penutupan jalan bagi mobil-mobil pengangkut hasil tambang milik perusahaan yang akan lewat.
Melirik Undang-Undang nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Perusahaan ini telah melanggar kebijakan dan peraturan negara, bahwa masyarakat berhak atas lingkungan yang baik dan sehat. ***
Toke Tambang Otak Dari Seluruh Konflik
Menyimak dari berbagai permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat Aceh Selatan, dapat disimpulkan bahwa otak dari seluruh rangkaian kejadian yang hingga saat ini masih memanas adalah Toke atau agen tambang.
Dimana toke tambang ini, bermoduskan koperasi tambang bagi masyarakat dan tentunya mengiming-imingi kesejahteraan bagi masyarakat. Hingga akhirnya masyarakat terpedaya oleh aksi para toke tambang ini, tentu cerita yang sama juga terjadi didaerah lain dengan memanfaatkan kepolosan dan ketidaktahuan masyarakat adat.
Setelah masyarakat terpedaya, touke ini bekerjasama dengan agen perusahaan tambang dan tentu saja meraup keuntungan yang besar. Janji-janji manispun diberikan kepada masyarakat tanpa memperhatikan efek kedepannya bagi masyarakat adat tempatan.
Hingga setelah masyarakat adat sadar akan kerugian yang ditimbulkan oleh keberadaan perusahaan, masyakat mulai menuntut perusahaan tambang. Namun hal ini tidak digubris oleh perusahaan, malah pihak perusahaan menciptakan konflik internal diantara masyarakat adat itu sendiri.
Ini terbukti pada tanggal 17 Februari 2014 masa antar dua kecamatan bentrok yakni Koto Manggamat, Kecamatan Kluet Tengah dan Kota Fajar. Insiden berdarah yang terjadi sekitar pukul 21.30 WIB, Selasa (15/2/2011) itu merupakan ekses dari persoalan angkutan bijih besi milik perusahaan tambang.
Namun apalah daya masyarakat, mereka tidak sanggup untuk menuntut perusahaan atas ketidakadilan bagi mereka dan menuntut hukum atas pelanggaran perjanjian yang telah disepakati. Hal ini disebabkan karena kurangnya informasi, dan ketidakmampuan untuk membayar biaya hukum atau pengadilan. Selain itu, seringkali mereka tidak memiliki cukup informasi dan kapasitas untuk mengambil tindakan terhadap pelaku pelanggaran, yang mungkin memiliki koneksi dengan pihak pemerintah atau sumber daya lain yang dapat mereka gunakan.
Disinilah hasil dari pelatihan paralegal bagi masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan yang mereka dapatkan, bisa diterapkan.