Jakarta, 3 Mei 2012, Menjelang satu tahun pelaksanaan moratorium di Indonesia, Koalisi Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global¹ di Jakarta hari ini memberikan beberapa catatan penting dan mengungkap beberapa masalah yang harus segera diselesaikan demi memastikan moratorium efektif melindungi hutan dan lahan gambut.
Setahun yang lalu, pemerintah memberlakukan Penundaan Ijin Baru di Hutan Primer dan Lahan Gambut (moratorium) berdasarkan Inpres No. 10 tahun 2011. Sejak awal diberlakukan Inpres ini sangat jauh dari Komitmen Presiden SBY sendiri untuk melindungi hutan alam dan hampir dipastikan akan sulit mencapai komitmen penurunan emisi gas rumah kaca 41% pada tahun 2020. Inpres ini hanya mencakup pemberian ijin baru dan juga pada hutan primer.
Analisia Greenpeace memperlihatkan serial revisi peta indikatif penundaan ijin baru (PIPIB) menunjukkan keberpihakan pada usaha perusakan hutan, pengurangan luasan hutan dan lahan gambut terus terjadi dalam setiap revisi, 5,64 juta hektar pada periode Juni–November 2011, dan 4,9 juta hektar berpotensi hilang pada November 2011–Mei 2012. Wilayah hutan dan lahan gambut yang tercakup peta moratorium semakin kecil. Ini adalah indikasi nyata “pengkerdilan” komitmen presiden SBY untuk penyelamatan hutan Indonesia.
“Proses kaji ulang atas semua perijinan dan prosedurnya adalah kunci keberhasilan moratorium selain perlindungan total pada lahan gambut dan hutan alam Indonesia, tanpa hal tersebut perbaikan tata kelola hutan akan hanya menjadi wacana belaka”, seru Yuyun Indradi, Jurukampanye Politik Hutan Greenpeace.
Dari 163 konflik agraria sepanjang 2011, rinciannya adalah 97 kasus di sektor perkebunan, 36 kasus di sektor kehutanan, 21 kasus di sektor infrastruktur, delapan kasus di sektor pertambangan, dan satu kasus di wilayah tambak atau pesisir. Ini menunjukkan bahwa Inpres No.10/2011 belum melakukan perbaikan tata kelola di sektor kehutanan karena tidak menyentuh aspek sosial, hak atas tanah dan akses masyarakat atas sumber daya alam. Kasus Mesuji dan Pulau padang adalah contoh.
“Kasus Pulau Padang di Provinsi Riau² sangat jelas bahwa apa yang diinstruksikan, untuk penyempurnaan tata kelola kehutanan sama sekali tidak terjadi, karena pada kenyataannya pemerintah lebih berpihak kepada perusahaan besar daripada masyarakat yang terkena dampak. PT. Riau Andalan Pulp and Paper telah jelas-jelas menggunakan kekuatannya untuk meremehkan komitmen presiden SBY”, tegas Muslim, koordinator JIKALAHARI.
Deddy Ratih, Manajer Kampanye Hutan Walhi, mengungkapkan ”Kasus pemberian ijin di wilayah moratorium oleh Pemerintah Daerah menunjukkan lemahnya pemahaman pemerintah di tingkat daerah maupun di tingkat nasional, termasuk peran mereka dalam menjalankan mandat Inpres No.10/2011. Moratorium dan perbaikan tata kelola hutan, hampir belum menyentuh aspek perlindungan keanekaragaman hayati dan penguatan penegakan hukum.“
Bulan Maret 2012, Greenpeace menyerahkan bukti-bukti pelanggaran dan praktek illegal Asia Pulp and Paper, penggunaan kayu Ramin yang dilindungi oleh CITES Appendix II, dan Keputusan Menteri Kehutanan no.127/Kpts-V/2001; SK Menhut no.168/2001; SK Menhut no.1613/2001. Sejauh ini belum ada keputusan dan tindaklanjut dari pihak pemerintah atas bukti-bukti yang telah diserahkan tersebut. Tindakan Asia Pulp and Paper telah menghancurkan lahan gambut Indonesia dan spesies tanaman hutan yang dilindungi.
Koalisi menyerukan perlu dan segera dilakukan pembaharuan dan penguatan INPRES no 10/2011 . Proses moratorium hutan harus berbasiskan hasil capaian, transparansi dalam proses dan pelibatan publik secara lebih luas dan efektif menjadi satu keharusan, sehingga pencapaian komitmen dan penurunan emisi GRK dan penyelamatan hutan alam Indonesia dapat dilaksanakan dengan baik.
Kontak:
Hikmat Soeriatanwijaya-Greenpeace 08111805394
Yuyun Indradi-Greenpeace 081226161759
Deddy Ratih-WALHI 081250807757
Catatan editor:
(1) Koalisi Penyelamatan Hutan dan Iklim Global terdiri dari Greenpeace, Walhi, AMAN, HuMa, ICEL, FWI, Sawit Watch, KpSHK, Bank Information Center, Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim, Solidaritas Perempuan, dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif.
(2) Kasus Pulau Padang dapat dilihat di